Minggu, 01 Maret 2009

Tangisan Satwa Endemik Kalimantan

Suatu malam di dalam kegelapan kamar kos-kosan karena mati lampu sekitar tujuh jam lamanya penulis dikirimi sebuah pesan pendek melaui sms (short message service) oleh seorang teman kuliahnya, pengirim pesan itu bernama Dian Ayu Kurnia Jayanti yang kebetulan teman satu fakultas di program study yang sama yaitu Program Study Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Sms itu cukup singkat dan menarik bertuliskan “apabila kamu berada di dalam kegelapan berdoalah, maka terang akan menghampirimu tapi, apabila kamu tetap berada dalam kegelapan maka BAYARLAH TAGIHAN LISTRIKMU”. Itulah sms pertama di kotak masuk telephone genggam penulis. Selang beberapa menit kemudian dengan pengirim pesan yang sama penulis mendapat kembali satu sms yang dapat membuat penulis tersenyum lebar, sms itu bertuliskan “aku meminta kepada Tuhan untuk memberikanku sebuah batu dan Tuhan mengabulkannya dengan memberikanku sebuah berlian. Aku pun memohon kembali kepada Tuhan untuk memberikanku sebuah pohon dan Tuhan memberikanku sebuah hutan”. Senang sekali rasanya meminta batu malah diberikan berlian yang indah dan meminta sebuah pohon diberikan hutan yang dapat dimanfaatkan baik hasil hutan yang berupa kayu maupun hasil hutan non kayu seperti damar, rotan, obat-obatan alam dan lain sebagainya. Pertanyaannya apakah Tuhan hanya mengabulkan permohonan manusia? Dan bagaimana dengan permohonan dengan isak tangisan satwa endemik atau khas kalimantan yang berada di ambang kepunahan akibat tangan-tangan jahil nan kotor dari manusia yang rakus akan kekuasaan modal demi kepentingan pribadi semata. Alhasil 90% kerusakan hutan Kalimantan diakibatkan oleh ulah manusia seperti kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun, pembabatan hutan secara besar-besaran yang tidak berperikemanusiaan menjadi daerah pertambangan dan perkebunan dengan mengatas namakan demi kepentingan negara untuk menghasilkan peningkatan roda ekonomi masyarakat Indonesia dan dengan alasan lain demi menangguk devisa negara yang kenyataannya semua itu hanya demi kepentingan pribadi para pengusaha-pengusaha yang memiliki modal besar beserta tetek bengek lainnya yang tidak jelas timbal baliknya dengan dampak akibat kerusakan lingkungan yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.

Kekayaan hutan Kalimantan dengan cadangan sumber daya alam yang berlimpah ruah akan keanekaragaman hayati (genetik, flora dan fauna) yang tak tenilai harganya, yang sebelumnya pada tahun 1968 Kalimantan ditaksir mempunyai 41.470.000 ha hutan atau kira-kira 70%. Luas ini mencakup 34% seluruh luas hutan di Indonesia. Menjelang tahun 1990, dengan basis data yang lebih baik, luas lahan di Kalimantan yang masih tertutup hutan hanya 34.730.000 ha atau 63%. Angka ini menunjukkan kehilangan hutan tujuh juta hektar selama dua puluh tahun terakhir dan kita bukan saja kehilangan hutan tetapi kita juga telah kehilangan beberapa satwa endemik dan keberadaannya terbatas di Kalimantan. Dengan laju penebangan hutan di Kalimantan yang kian marak diperkirakan oleh beberapa lembaga lingkungan luasan hutan Kalimantan akan habis di tahun 2010 mendatang. Bila tutupan hutan kalimantan pada tahun 2010 telah habis selanjutnya bagaimanakah dengan nasib sahabat-sahabat alam kita seperti Owa-owa (Hyllobates muelleri), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Lutung dahi putih (Presbytis frontata), Bekantan (Nasalis Larvatus), Kucing merah (Felis badia), Bajing tanah (Lariscus hosei), Ibis karau (Pseudibis davisoni), Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri, Luntur Kalimantan (Harpactes whiteheadi), Pijantung Kalimantan (Anthreptes everetti), Alap-alap dahi putih (Microhierax latifrons), Puyuh gonggong Kalimantan (Arborophila hyperythra), Brencet Kalimantan (Ptilocicla leucogram) dan belum lagi satwa endemik Kalimantan yang belum teridentifikasi keberadaannya. Pertanyaannya, Kemanakah para sahabat-sahabat alam yang endemik Kalimantan itu akan bertempat tinggal ketika habitat aslinya telah habis akibat ulah manusia?. Kalau mereka bertempat tinggal di kota tentunya tidak akan mungkin dengan tingkat pencemaran udara yang tinggi yang mana setiap individu dituntut harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi sementara habitatnya terdegradasi, spesies yang tidak dapat bertahan hidup tentunya akan punah dan tanggung jawab apalagi yang akan kita pertanggung jawabkan kepada anak cucu kita seandainya mereka sudah tidak dapat lagi mengenal satwa endemik penghuni kekayaan hutan Kalimantan, hari ini anak cucu kita masih bisa melihat mereka walaupun secara tidak langsung dialam tetapi di dalam kandang tapi mungkin beberapa tahun lagi anak cucu kita hanya dapat melihatnya di dalam gambar saja sungguh menyedihkan bukan, manusia sekarang lebih berpikir bahwa mereka adalah keturunan terakhir di alam ini walaupun mereka sadar sering berkata kebohongan sebagai ahli konseptor omong kosong dengan pendapat “bahwa itu semua untuk anak cucu kita yang akan datang”, semua satwa endemik harus dikoservasi akan sintesa dari pertentangan eksploitasi dengan preservasi (perlindungan), benarkah demikian? Pertanyaannya untuk anak cucu siapa? Apakah untuk anak cucu para pemodal dengan investasi tinggi dengan keinginan Kalimantan akan menjadi kekuasaan tunggal mereka atau untuk seluruh anak cucu masyarakat indonesia tanpa terkecuali.

Sebenarnya salah apa sih satwa-satwa itu sampai-sampai manusia sebegitu teganya merebut hutan sebagai habitat mereka untuk bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman secara fisik (panas, dingin dan angin), bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami, bebas dari luka, sakit dan penyakit beserta bebas dari rasa stress dan distress. Apa sih salah mereka!. Ketika satwa-satwa itu masuk kepemukiman penduduk siapa yang disalahkan? Tentu satwanya bukan! Sebenarnya manusia yang masuk ke dalam kota satwa atau satwa yang masuk ke dalam kota manusia, jadi yang mana yang benar? Tentunya manusia yang masuk ke kota satwa yang harus disalahkan! Tapi kenapa sampai saat ini manusia terus berdalih panjang lebar bahwa itu adalah kesalahan satwa dan bukan kesalahan manusia yang telah merampas habitat satwa sebagai tempat hidup aslinya. Sakit sekali rasanya andai kata penulis menjadi satwa tersebut, kesini salah kesitu salah jadi harus kemana satwa-satwa itu harus bertempat tinggal? Satu atap dengan manusia pun tentunya tidak mungkin mana ada manusia yang mau disamakan dengan binatang dengan hidup bersamaan di dalam satu rumah.

Di lain hal teringat kembali ketika penulis melakukan praktikum lapangan ekologi burung di KRUS (Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda) di minggu ke tiga bulan November 2006, disaat praktikum lapangan berlangsung penulis melihat dan mengamati salah satu Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di dalam sebuah kandang besi berwarna hijau dengan ukuran sekitar 3×4 m. Orangutan Kalimantan itu sedang duduk di sudut sebelah kiri kandang yang mana posisi kandang tepat berada di depan penulis, dengan keadaan tenang penulis mengamati Orangutan Kalimantan yang sedang melihat pemandangan yang jauh diluar sana dengan sorot mata yang sangat memilukan, apa yang mereka lihat, satu kawasan hutan yang dapat membuat mereka bahagia menikmati keindahan alam dan melakukan berbagai macam aktivitas alaminya untuk dapat bermain kesana kemari dengan bebasnya tanpa ada pembatas terali-terali besi, memanjat tegakan-tegakan pepohonan untuk mencari pakan seperti buah, daun, kulit kayu dan serangga sementara itu ketika di dalam kandang Oangutan Kalimantan hanya berharap belas kasihan manusia yang melewati kandangnya dengan harapan akan memberikan makanan, mandi di sungai-sungai kecil yang jernih, hangat yang ada di sekitar kawasan hutan dan sebagainya tanpa ada yang menghalanginya untuk melakukan semua hal ini. Senang sekali rasanya walaupun itu hanya mimpi.

Dan itulah salah satu contoh kecil yang sifatnya nyata dari perilaku Orangutan Kalimantan yang berada di salah satu kandang besi KRUS yang menginginkan sebuah makna kebebasan akan kemerdekaan hidup di alam bebas. Belum lagi stress berkepanjangan berada di dalam kandang yang tidak layak huni, jorok dan berbau tidak sedap, terus bagaimana satwa-satwa endemik (khas) kalimantan yang lainnya yang mengalami nasip serupa seperti Orangutan Kalimantan tersebut, satwa endemik Kalimantan yang eksotis seperti Owa-owa (Hyllobates muelleri), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Lutung dahi putih (Presbytis frontata), Bekantan (Nasalis
Larvatus),
Kucing merah (Felis badia), Bajing tanah (Lariscus hosei), Ibis karau (Pseudibis davisoni), Sempidan Kalimantan (Lophura bulweri), Luntur Kalimantan (Harpactes whiteheadi), Pijantung Kalimantan (Anthreptes everetti), Alap-alap dahi putih (Microhierax latifrons), Puyuh gonggong Kalimantan (Arborophila hyperythra) dan Brencet Kalimantan (Ptilocicla leucogram) dan satwa endemik Kalimantan dan belum teridentifikasi keberadaannya mungkin saja nasibnya lebih menyedihkan dari Orangutan kalimantan yang ada di dalam kandang KRUS. Seperti beberapa satwa endemik kalimantan diperjual belikan secara illegal oleh para pengumpul demi kepuasan para kolektor-kolektor satwa langka untuk dijadikan obsetan yang menghiasi rumah-rumah mewah mereka. Kasihan sekali nasib satwa-satwa endemik Kalimantan yang harus punah demi kepuasan manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap alam untuk mengisi perut-perut mereka tanpa rasa kasihan sedikitpun dengan hasil uang haram. Manusia dapat menangis bila kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan bukan berarti satwa-satwa itu tidak dapat menangis seperti manusia. Mereka juga menangis walaupun manusia tidak akan pernah mau tahu bahwa mereka sebenarnya dapat menangis, merasakan duka dan kehilangan yang mendalam. satwa tidak pernah membalas dendam dengan
apa yang manusia perbuat dengan kejam tanpa ampun kepada satwa-satwa tersebut.

Andaikata penulis menjadi salah satu satwa endemik Kalimantan yang mana saja dengan kelebihan dapat berbicara kepada manusia, tentunya penulis akan menuntut agar manusia mengembalikan hutan Kalimantan dengan keadaan seperti semula tanpa cacat satupun dan penulis (yang menjadi salah satu satwa tersebut) akan bertanya kepada hati nurani manusia, apa sebenarnya keinginan manusia untuk beberapa tahun kedepan? Tidak ada salahnya bukan bila penulis bermimpi menjadi satwa endemik Kalimantan yang sudah diambang kepunahan, siapa juga yang dapat melarangnya, semua itu hanyalah salah satu mimpi penulis untuk membela satwa-satwa yang selalu tidak pernah jelas pengakuan “HAK” nya di mata manusia. Haruskah kejadian masa lalu terulang kembali di masa para cendekiawan dan ahli filsafat Inggris berpandangan bahwa satwa tidak mamiliki “HAK” untuk melakukan apa saja walaupun semuanya telah dipatahkan dengan argumen kunci dalam pandangan ini adalah Apakah satwa merasa menderita? Tentu saja! satwa juga dapat merasakan sakit ketika peluru bersarang ditubuh mereka, ketika cambukan-cambukan panas berulang-ulang kali menghantam tubuh mereka dalam pertunjukkan sirkus demi kepuasan mendapatkan beribu-ribu tawa para penonton yang menontonnya, ketika tubuh mereka di bakar hidup-hidup menjadi sebuah obsetan yang berkilau nan menarik di mata pembeli, apakah ini yang diingikan oleh sang penguasa alam yang notabenenya tertulis dalam semua al-kitab agama bahwasanya manusia dan alam harus hidup secara berdampingan tanpa harus ada yang menyakiti dan disakiti serta saling menyayangi sesama mahluk hidup di muka bumi ini. Masih pantaskah tepi sungai hutan mangrove dikatakan indah tapi tidak ada satupun Bekantan (Nasalis larvatus) didalamnya, masih adakah tunas-tunas pertumbuhan vegetasi ketika semua jenis burung telah punah dengan peranannya yang sangat penting dalam penyerbukan dan penyebaran buah di alam. Oleh karena itu masih pantaskah jika Kalimantan dijadikan salah satu situs alam warisan dunia dengan panorama alam berupa rimbunan pepohonan, dari kejauhan hutan tampak hijau dan alami tapi di dalamnya tidak ada satupun jenis fauna.

Jadi apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga agar satwa-satwa endemik Kalimantan itu tetap ada, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah membentuk sebuah penyadaran dan pemahaman yang sama kepada sebagian orang yang melihat permasalahan konservasi satwa dari kaca politik, “posisi interaksi Negara dan Rakyat”, kemudian sebagian lagi melihat dari asas ekologi, “manusia, alam dan unsur biologis lainnya”,dan sebagian lagi dari asas ekonomi, “pemanfaatan atau pengawetan” dan sebagian lagi melihat dari sudut pandang sosial, “mampu mensejahterakan kehidupan manusia”. walaupun membutuhkan waktu relatif lama tapi jangan kelamaan sebelum satwa-satwa endemik Kalimantan benar-benar punah selamanya. Bentuklah suatu pemahaman yang benar-benar konkrit demi kelangsungan hidup satwa endemik maupun non-endemik yang timbal baliknya berperan penting terhadap kelestarian lingkungan yang akan datang, perlu diingat kawasan hutan bukanlah hanya tegakan pohon semata tetapi kawasan hutan merupakan laboratorium alam yang nyata untuk kesejahteraan baik itu masyarakat Indonesia khususnya Kalimantan dan untuk kesejahteraan satwa itu sendiri. Oleh karena itu membangun persepsi dan pemahaman dapat dilakukan melalui survei kolaboratif dengan melihat dan melakukannya langsung dilapangan agar lebih mudah memahami dibandingkan dengan hanya membaca dan mendengar. Jangan sekali-kali pernah ada anggapan konsevasi lebih mementingkan satwa endemik Kalimantan dengan beberapa contoh konservasi lebih mementingkan Orangutan atau gajah daripada manusia yang harus mencari sumber penghidupannya sendiri. Langkah yang kedua adalah ikut berpartisipasi secara aktif dalam konservasi satwa endemik Kalimantan karena satwa sangat penting artinya dalam kehidupa di alam. Dan masih banyak lagi cara yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan kepedulian kita terhadap satwa, kita ambil contoh kecilnya dengan tidak melakukan perburuan baik itu yang legal maupun illegal dan memelihara satwa jenis apapun di dalam rumah dengan begitu akan menghentikan laju perdagangan satwa liar yang kian marak terjadi, dengan begitu satwa endemik Kalimantan dapat mengalami peningkatan populasi tanpa ada yang mengganggunya dengan dasar KOMITMEN BERSAMA demi satwa endemik Kalimantan untuk menjadi kebanggaan kita bersama.

Atas Nama keindahan kalimantan beserta isinya yang tercantik Tak terasa manusia dan satwa seolah berkejaran dengan waktu, berkejaran dengan roda politik, dan berkejaran dengan kesadaran, menuju gerbang-gerbang perubahan yang selalu diidam-idamkan dan jangan biarkan bom waktu yang mengancam kehidupan masyarakat dan satwa endemik Kalimantan berputar atau berjalan kembali menuju kehancuran yang tak terbayangkan dasyatnya. Untuk Para sahabat alamku di Kalimantan penulis teringat salah satu lirik lagu karya Iwan Fals ‘Tabir gelap yang dulu hinggap lambat laun mulai terungkap, Labil tawamu tak pasti tangismu jelas membuat aku sangat ingin mencari, Apa yang tersembunyi di balik senyum manismu Apa yang tersembunyi dibalik dua bening matamu” adalah satu harapan untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan sejati.

Salam Lestari…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar